Al Qur’an menyatakan dalam surah 10 : 48 bahwa pada setiap bangsa telah diutus seorang rasul; lebih jauh dalam surah 14 : 8 dikatakan bahwa Tuhan tidak mengutus rasul yang tidak dapat berbicara dalam bahasa bangsa yang kepada bangsa itu dia diutus. Kaum muslim berpendapat bahwa Allah tidak pernah membiarkan diri-Nya tak bersaksi dalam sejarah, dan dimulai dengan Adam, manusia dan nabi pertama, para rasul Allah terus-terusan mengabarkan kepada umat manusia tentang kehendak Allah sampai Dia akhirnya memanggil Muhammad sebagai “ya ayyuha n-nabi”, Wahai nabi!” (surah 33 : 1), dan menetapkannya sebagai khatam al-anbiya’, penutup para nabi.
Sekalipun demikian, nabi tidak diwajibkan untuk menyebarkan suatu hukum baru di dunia; ini adalah tugas seorang rasul, atau “utusan”; dan sementara jumlah anbiya’ (jamak dari kata nabi) tidak diketahui, jumlah nabi yang membawa hukum baru itu dapat dihitung secara lebih pasti. Menurut suatu hadits yang tersebar luas, Muhammad sendiri menyebutkan 124.000 orang nabi dan 313 rasul. Al Qur’an memuat nama-nama dari dua puluh delapan orang diantaranya, tetapi tidak ada yang menghalangi kaum muslim untuk mengakui juga nabi-nabi yang tidak disebutkan nama-namanya di dalam Al Qur’an, tetapi mungkin pernah tampil sebelum Muhammad di Cina atau Amerika Selatan untuk mengajarkan kepada bangsa itu tentang aturan-aturan hukum Tuhan.
BAB II
ISI
ISI
Sejarah hidupnya Rasulullah SAW adalah terpelihara dari segala macam perbuatan dosa atau kemaksiatan sejak sebelum diutusnya sebagai rasul, apalagi sesudahnya. Allah Ta’ala sengaja memelihara dan menjaganya dari perilaku yang tidak pantas sejak menjadi kanak-kanak, juga dari permainan-permainan yang tidak layak sejak mudanya. Sesekali saja belum pernah beliau SAW mengerjakan hal-hal yang tidak baik sebagaimana yang pernah dilakukan oleh orang lain. Dan selama hayatnya beliau SAW belum pernah terlintas dalam hatinya suatu kehendak buruk.
Maka jikalau sudah kita maklumi sedemikian itu keadaannya, apakah pengertian dosa yang beliau SAW : dimintai oleh Allah untuk memohon pengampunan-Nya, dan dosa manakah yang diampuni oleh Allah untuknya, baik yang tampak maupun yang akan datang?
Memang tidak perlu diperselisihkan lagi bahwa seorang rasul itu kadang-kadang memberikan keputusan-keputusan yang hanya dikeluarkan dari cara pemikirannya sendiri, sebab tidak ada wahyu yang menentukannya. Jika sekiranya wahyu tidak ada, maka persoalan itu sudah selazimnya diserahkan kepada ijtihad rasul itu sendiri yang khas. Maka ada kalanya apa yang diijtihadkan itu tidak sampai pada taraf yang cukup baik, belum lagi mencapai tingkat yang terbaik.
Ijtihad yang pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW yang hanya sampai pada tingkat baik dan belum ke tingkat yang terbaik ialah sebagaimana yang disebutkan dalam Al Qur’an, yang diantaranya dapat dikemukakan sebagai berikut :
- Dalam surat Anfal : 67 – 68 Rasulullah SAW berijtihad dalam persoalan tawanan perang Badar, dan menerima tebusan untuk tawanan-tawanan itu. Dalam kedua perkara ini Allah Ta’ala benar-benar telah mencelanya sehingga menyebabkan beliau menangis.
- Demi Rasulullah SAW menerima ayat sebagaimana di atas itu, lalu menangislah dan menangis pulalah sahabatnya yang setia yakni Abu Bakar Ash-Shiddiq. Keduanya menangis tersedu-sedu yang membuktikan penyesalan yang sedalam-dalamnya. Sampai-sampai di saat itu Rasulullah SAW bersabda :
لَوْ نَزَلَ عَذَابٌ مِنَ السَّمَآءِ مَا نَجَا غَيْرٌ عُمَرَ.
“Andaikata siksa Tuhan turund ari langit, pasti tidak seorang pun akan selamat dari padanya selain Umar”.
Memang hanya sayyidina Umar r.a sajalah yang tidak sepakat dengan adanya tebusan untuk tawanan itu. Rasulullah SAW menerima alasan orang-orang yang tertinggal di belakang garis peperangan yakni tidak ikut maju ke medan pertempuran, padahal belum diadakan penelitian yang seksama mengenai alasan-alasannya itu yang maksudnya untuk dapat membedakan, siapa orang yang alasannya memang dikemukakan dengan sebenar-benarnya dan siapa yang hanya berdusta saja.
Dalam hal ini Allah mengatakan sanggahan dengan firman-Nya :
Artinya : Semoga Allah mema'afkanmu. mengapa kamu memberi izin kepada mereka (untuk tidak pergi berperang), sebelum jelas bagimu orang-orang yang benar (dalam keuzurannya) dan sebelum kamu ketahui orang-orang yang berdusta? (at-Taubah : 43)
Rasulullah SAW telah menyembunyikan perintah perkawinannya dengan Zainab putri Jahsyi sesudah diceraikan oleh Zaid bin Haritsah (anak pungut beliau SAW), padahal Allah Ta’ala sendiri yang menyuruh beliau SAW untuk mengawininya itu, dengan maksud untuk membatalkan atau melenyapkan kebiasaan yang diikuti oleh kaum Jahiliyah yang turun-temurun sebagai sesuatu yang dijadikan taklid buta. Adat istiadat sedemikian ini dipegang sekokoh-kokohnya oleh kaum Jahiliah. Oleh karena itu, sebagaimana lazimnya manusia biasa, beliau SAW merasa agak berat menyalahi kesalahan-kesalahan, tradisi-tradisi atau taklid-taklid yang sudah berurat akar di kalangan kaumnya itu.
Namun demikian, apa yang dirasakannya, baik berupa kesempitan atau keberatan itu akhirnya dapat dilenyapkan setelah menerima celaan yang ringan tetapi cukup mengesankan dengan turunnya wahyu Allah Ta’ala (Surat Ahzab : 37 – 38).
“Dikala engkau berkata kepada orang telah diberi karunia oleh Allah dan engkau pun telah memberi karunia kepadanya” tetaplah engkau pelihara saja istrimu (jangan diceraikan) dan takutlah kepada Allah”. Engkau menyembunyikan dalam hatimu apa yang dijelaskan oleh Allah dan engkau takut kepada manusia, sedang Allah itulah yang lebih berhak untuk ditakuti".
Kemudian setelah Zaid menyampaikan hajatnya kepada wanita itu, lalu kami kawinkanlah ia denganmu, agar supaya di masa yang akan datang tidak lagi ada keberatan bagi orang-orang yang beriman untuk mengawini istri-istri, anak-anak angkat mereka, apabila mereka telah menyampaikan hajat mereka kepada wanita-wanita itu. Perintah Allah itu pastilah harus dilaksanakan.
Seorang nabi tidak boleh berkeberatan tentang apa yang telah dimestikan oleh Allah kepadanya. Itulah peraturan yang tetap dari Allah bagi nabi-nabi dari dahulu kala. Perintah itu adalah suatu keputusan yang telah ditetapkan”. (QS. Ahzab : 37 – 38).
Peristiwa lain yang dapat dimasukkan dalam bidang ini ialah celaan yang dihadapkan oleh Allah Ta’ala oleh Allah Ta’ala kepada Rasulullah SAW celaan itu datang dari Allah Ta’ala kepada Rasulullah SAW karena beliau SAW ini agaknya menggarap-harap untuk masuknya para pembesar, pemimpin dan pendekar Quraisy itu dalam Islam. Dan pada saat beliau sedang berdakwahnya di saat itu suasana sedang hangat-hangatnya datanglah seorang lelaki yang bernama Abdullah bin Ummi Maktum tidak dapat melihat.
Oleh karena dia belum dapat melihat, maka terus saja ia menuju ke hadapan Rasulullah SAW dan memotong ucapan beliau. Bukankah beliau SAW sedang beramar ma’ruf bernahi munkar, tetapi dengan seenaknya saja pembicaraan itu diputuskan di tengah-tengah. Mendengar itu muka beliau menjadi masam, maka oleh sebab itu Allah Ta’ala lalu mencela beliau SAW karena sikapnya yang sedemikian itu.
Eksistensi Nabi Muhammad SAW Sebagai Nabi Akhir Zaman selanjutnya dapat dijabarkan sebagai berikut:
A. Nabi Muhammad Sebagai Pembaharu Sosial
B. Rasul yang Paling Utama
C. Penutup Nubuwat dan Risalat
D. Pekerjaan-pekerjaan Besar yang Dilakukan Oleh Rasulullah SAW
E. Bukti-bukti Kebenaran Rasulullah SAW
F. Pemberitahuan yang Menggembirakan Perihal Datangnya Seorang Rasul Terakhir
REFERENSI
Sayid Sabiq, Aqidah Islam
Syed Mahmudunnasir, Islam Konsepsi dan Sejarahnya
Silahkan tuliskan komentar yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
EmoticonEmoticon